Cinta sudah basi!
Sembilan tahun yang
lalu kau hadir sebagai seorang lelaki impian, berjalan tegap memandang jauh ke
depan sana sampai tak terlihat aku yang disini. Yah siapa lah aku, hanya bisa
melihatmu dari kejauhan dan sampai sekarang pun hanya bisa memandangmu dari
kejauhan.
Terlalu jauh jarak antara kita membuatku sadar diri memendam
kekaguman itu. Apalagi ku tahu selama ini sahabatku yang selalu kau perhatikan.
Sekali lagi memandangmu dari kejauhan saja sudah membuatku bahagia, lebih dari
cukup.
Sembilan tahun berlalu,,
saat semua telah berubah dan semua kenangan telah rapi tersimpan dalam kotak
kenangan masalalu, hari ini kau hadir kembali mengajakku pergi mengunjungi
ruangan yang kau sebut sebagai hatimu . kemudian kau mengajakku ke sudut ruangan
dan memberiku sebuah lukisan. Lukisan yang nyaris sama dengan masa Sembilan
tahun yang lalu.
“Bukan”katamu
“ ini lukisan kita dua belas tahun
lalu.”
“kita? Dua belas tahun yang lalu?”
sekejap aku merasa menjadi seorang yang kehilangan ingatan.
Berulang kali ku bongkar lagi ingatanku dua belas tahun
yang lalu tapi tak kutemukan seraut
wajah yang bernama kamu di kala itu.
“Lalu dimana saya?” Aku tak percaya itu
dua belas tahun yang lalu. Seingatku aku mengenalmu Sembilan tahun yang lalu
bukan dua belas tahun yang lalu.
“Inilah kamu, peri kecil yang selalu
kulukis dan ku simpan dalam bingkai hatiku” diusapnya gambar sesosok gadis
mungil yang nyaris seperti diriku entah berapa tahun yang lalu.
“Lalu kamu? Dimana kamu?” tanyaku
mencoba membongkar lukisan yang masih kuanggap palsu.
“Zelda,,Aku hanya melukismu tak pernah
nampak dalam bingkai ceritamu dan tak pernah kau anggap ada”
“Kamu bohong, itu bukan kamu, bukan kamu
yang melukis peri kecil bernama aku” sangkalku.
“ Aku selalu ada dalam setiap harimu, tapi
kamu yang tidak pernah menganggapku ada. Lihat saja seulas senyum ini, bukankah
ini senyummu? Aku yang menggoreskannya. Kamu
ingat kerut dahi ini? Milikmu. Ingin ku hapus layaknya inginku menghapus
letihmu di kala itu tapi aku tak punya keberanian untuk itu semua.”
Ya, itu memang seperti aku, kemana saja
aku waktu itu? melewatkan fragmen kehidupan yang seharusnya indah bila
kutemukan di masa itu.
“ Setiap hujan turun ku tahu kau selalu
ingin memeluknya, menari bersamanya hingga bibirmu membiru beku, kedinginan.
Aku melihatnya, aku selalu ada di sana diantara semak yang tak pernah terlihat
olehmu. Dulu, harusnya aku turut menari bersamamu, aku juga ingin merasakan
hangatnya pelukan hujanmu, atau setidaknya ku sodorkan sebuah jaket hangat ketika bibirmu mulai beku
membiru. Ah,, tapi aku tak punya cukup keberanian. Nyaliku terlampau kerdil
untuk sekedar mendekatimu. Berulang kali ingin ku sodorkan lukisan ini untukmu
tapi aku takut kau tak mau menerimanya. Indah menurutku, belum tentu menurutmu
bukan? Maka kuputuskan untuk membingkainya di dalam hatiku, hiasan hati yang
hanya terlihat olehku. Setiap kali ku merindukanmu tinggal ku pandangi tanpa ada
seorang yang tau.”
“kenapa? Kenapa baru sekarang kau
tunjukkan indahnya lukisanmu setelah dinding hatiku telah terpenuhi oleh hiasan
yang lain?”
“aku tak punya sedikitpun keberanian
untuk meminta sedikit celah di hatimu untukku. Aku tak berharap kau menaruh
lukisan ini di sudut hatimu, biarlah hatimu dipenuhi oleh lukisan yang lain,
dipenuhi warna pelangi yang selama ini kau impikan. Bukankah bahagiamu adalah
bahagiaku juga?dan dukamu juga akan mengiris hatiku juga? Jangan khawatir aku
tak meminta imbalan atas rasa ini, membuatmu mau melihat isi ruang hatiku saja
sudah sangat membuatku bahagia.” Seulas senyum tersaji di wajahmu. Saat itu
juga aku tahu bahwa terkadang senyummu bisa terasa pahit dihati. Oh mungkin
terasa pedas lebih tepatnya hingga memaksa airmataku menetes begitu saja.
“Apakah aku salah berucap?”
“tidak.”
“lalu?”
“entahlah,,”
“ maafkan aku, tak selayaknya aku…”
“ ya, tak selayaknya kita berada disini
hari ini. Tak selayaknya kau ceritakan semua isi hatimu saat ini. Seharusnya
kita duduk disini bertahun-tahun yang lalu. Melukis indahnya dunia bersama,
melukis indahnya pelangi yang selalu kau terka, ataupun sekedar duduk bersama
berbincang dengan hujan yang sudah tidak bisa kita lakukan lagi hari ini.”
“apa aku terlampau terlambat?”
“ ya. Kau datang sebagai masalalu disaat
aku mulai mencoba hidup untuk masa depan.”
Aku pun beranjak dari dudukku. Pada akhirnya
aku harus pergi meninggalkanmu bersama puzzle puzzle masalalu yang tak kan
mungkin lagi kita rangkai bersama.
“ Zelda,,aku tahu mungkin semua ini
terlambat ku ungkapkan barangkali juga hatimu tlah ada yang memiliki, aku tak
peduli. Setidaknya ijinkan aku mengucapkan kalimat yang seharusnya ku sampaikan
bertahun-tahun lalu…zelda aku mencintaimu dan sangat mencintaimu aku tak berani
berharap kau membalas cintaku tapi setidaknya kau harus tau jika sejak dua
belas tahun yang lalu sampai detik ini aku masih mencintaimu.” Serumu mencoba
menghentikan langkahku.
Ungkapan rasa yang membuat bibirku semakin
terkunci, harus senangkah? Menyesal? Marah? Kecewa? Entahlah…
Aku tak sanggup berkata apa-apa lagi.
Aku hanya ingin menggenggam angin sore
ini, membiarkan senja membungkus cinta yang terasa basi dalam nyata.
29 september 2009
Dear….
Delapan tahun sudah aku menyimpan gurat
senyummu di hati kecilku, menyimpan suara derap langkahmu, menyimpan bayangmu
di setiap sepi malamku. Setiap malam malam sepi berulang kali inginku ulang
waktu. Lazuardi,,, seharusnya kala itu ku sampaikan isi hatiku padamu, betapa
jatuh cintanya hatiku padamu, betapa merindunya diriku akan bayangmu, betapa
sakitnya hatiku tiap kali melihatmu bersama teman-teman wanitamu hingga inginku
kau ku miliki agar senyum dan tawamu hanya kau berikan kepadaku. Aku menyesal
menjadi manusia yang terlalu malu untuk sekedar mengakui rasa di hatiku. Apalah
dayaku? budaya merantaiku, mengajariku untuk gengsi menyatakan rasa cinta
kepada engkau kaum adam karena aku adalah sang hawa. Seharusnya sedari dulu aku
tahu bahwa tak ada salahnya jika aku mengungkapkan isi di hatiku. Apa susahnya
mengucapkan “lazuardi aku sangat mencintaimu dan aku berharap kau pun juga
sama.” Tak peduli apakah kau mencintaiku atau tidak, tak peduli apakah kau bisa
ku miliki atau tidak, seharusnya aku tak peduli. Seharusnya….
Lazuardi…Mungkin hari ini saatnya ku
rapikan semua lembar cerita tentangmu, membungkusnya dalam kotak kenanganku.
Sudah saatnya aku menulis cerita baru
bersama Bian lelaki yang setiap hari meneteskan kasih dalam hatiku meski
seringkali ku acuhkan. Selamat tinggal lazuardiku,, warnamu akan ku simpan di
sudut langit hatiku.
20 mei 2010
Undangan
Mengharap kehadiran dan do’a saudara
dalam akad nikah kami ‘ Albian Pramudya dengan Elmira Zelda’ yang akan dilaksanakan
esok tanggal 28 mei 2010.
Kami yang berbahagia
Bian & Zelda
26 mei
rinai hujan