Jumat, 20 Juni 2014

cerpenku



Cinta sudah basi!

Sembilan tahun yang lalu kau hadir sebagai seorang lelaki impian, berjalan tegap memandang jauh ke depan sana sampai tak terlihat aku yang disini. Yah siapa lah aku, hanya bisa melihatmu dari kejauhan dan sampai sekarang pun hanya bisa memandangmu dari kejauhan.
Terlalu jauh jarak  antara kita membuatku sadar diri memendam kekaguman itu. Apalagi ku tahu selama ini sahabatku yang selalu kau perhatikan. Sekali lagi memandangmu dari kejauhan saja sudah membuatku bahagia, lebih dari cukup.
Sembilan tahun berlalu,, saat semua telah berubah dan semua kenangan telah rapi tersimpan dalam kotak kenangan masalalu, hari ini kau hadir kembali mengajakku pergi mengunjungi ruangan yang kau sebut sebagai hatimu . kemudian kau mengajakku ke sudut ruangan dan memberiku sebuah lukisan. Lukisan yang nyaris sama dengan masa Sembilan tahun yang lalu.
“Bukan”katamu
“ ini lukisan kita dua belas tahun lalu.”
“kita? Dua belas tahun yang lalu?” sekejap aku merasa menjadi seorang yang kehilangan ingatan.
Berulang kali  ku bongkar lagi ingatanku dua belas tahun yang lalu tapi tak kutemukan seraut  wajah yang bernama kamu di kala itu.
“Lalu dimana saya?” Aku tak percaya itu dua belas tahun yang lalu. Seingatku aku mengenalmu Sembilan tahun yang lalu bukan dua belas tahun yang lalu.
“Inilah kamu, peri kecil yang selalu kulukis dan ku simpan dalam bingkai hatiku” diusapnya gambar sesosok gadis mungil yang nyaris seperti diriku entah berapa tahun yang lalu.
“Lalu kamu? Dimana kamu?” tanyaku mencoba membongkar lukisan yang masih kuanggap palsu.
“Zelda,,Aku hanya melukismu tak pernah nampak dalam bingkai ceritamu dan tak pernah kau anggap ada”
“Kamu bohong, itu bukan kamu, bukan kamu yang melukis peri kecil bernama aku” sangkalku.
“ Aku selalu ada dalam setiap harimu, tapi kamu yang tidak pernah menganggapku ada. Lihat saja seulas senyum ini, bukankah ini senyummu? Aku yang menggoreskannya. Kamu  ingat kerut dahi ini? Milikmu. Ingin ku hapus layaknya inginku menghapus letihmu di kala itu tapi aku tak punya keberanian untuk itu semua.”
Ya, itu memang seperti aku, kemana saja aku waktu itu? melewatkan fragmen kehidupan yang seharusnya indah bila kutemukan di masa itu.
“ Setiap hujan turun ku tahu kau selalu ingin memeluknya, menari bersamanya hingga bibirmu membiru beku, kedinginan. Aku melihatnya, aku selalu ada di sana diantara semak yang tak pernah terlihat olehmu. Dulu, harusnya aku turut menari bersamamu, aku juga ingin merasakan hangatnya pelukan hujanmu, atau setidaknya ku sodorkan  sebuah jaket hangat ketika bibirmu mulai beku membiru. Ah,, tapi aku tak punya cukup keberanian. Nyaliku terlampau kerdil untuk sekedar mendekatimu. Berulang kali ingin ku sodorkan lukisan ini untukmu tapi aku takut kau tak mau menerimanya. Indah menurutku, belum tentu menurutmu bukan? Maka kuputuskan untuk membingkainya di dalam hatiku, hiasan hati yang hanya terlihat olehku. Setiap kali ku merindukanmu tinggal ku pandangi tanpa ada seorang yang tau.”
“kenapa? Kenapa baru sekarang kau tunjukkan indahnya lukisanmu setelah dinding hatiku telah terpenuhi oleh hiasan yang lain?”
“aku tak punya sedikitpun keberanian untuk meminta sedikit celah di hatimu untukku. Aku tak berharap kau menaruh lukisan ini di sudut hatimu, biarlah hatimu dipenuhi oleh lukisan yang lain, dipenuhi warna pelangi yang selama ini kau impikan. Bukankah bahagiamu adalah bahagiaku juga?dan dukamu juga akan mengiris hatiku juga? Jangan khawatir aku tak meminta imbalan atas rasa ini, membuatmu mau melihat isi ruang hatiku saja sudah sangat membuatku bahagia.” Seulas senyum tersaji di wajahmu. Saat itu juga aku tahu bahwa terkadang senyummu bisa terasa pahit dihati. Oh mungkin terasa pedas lebih tepatnya hingga memaksa airmataku menetes begitu saja.
“Apakah aku salah berucap?”
“tidak.”
“lalu?”
“entahlah,,”
“ maafkan aku, tak selayaknya aku…”
“ ya, tak selayaknya kita berada disini hari ini. Tak selayaknya kau ceritakan semua isi hatimu saat ini. Seharusnya kita duduk disini bertahun-tahun yang lalu. Melukis indahnya dunia bersama, melukis indahnya pelangi yang selalu kau terka, ataupun sekedar duduk bersama berbincang dengan hujan yang sudah tidak bisa kita lakukan lagi hari ini.”
“apa aku terlampau terlambat?”
“ ya. Kau datang sebagai masalalu disaat aku mulai mencoba hidup untuk masa depan.”
Aku pun beranjak dari dudukku. Pada akhirnya aku harus pergi meninggalkanmu bersama puzzle puzzle masalalu yang tak kan mungkin lagi kita rangkai bersama.

“ Zelda,,aku tahu mungkin semua ini terlambat ku ungkapkan barangkali juga hatimu tlah ada yang memiliki, aku tak peduli. Setidaknya ijinkan aku mengucapkan kalimat yang seharusnya ku sampaikan bertahun-tahun lalu…zelda aku mencintaimu dan sangat mencintaimu aku tak berani berharap kau membalas cintaku tapi setidaknya kau harus tau jika sejak dua belas tahun yang lalu sampai detik ini aku masih mencintaimu.” Serumu mencoba menghentikan langkahku.
Ungkapan rasa yang membuat bibirku semakin terkunci, harus senangkah? Menyesal? Marah? Kecewa? Entahlah…
Aku tak sanggup berkata apa-apa lagi.
Aku hanya ingin menggenggam angin sore ini, membiarkan senja membungkus cinta yang terasa basi dalam nyata.


29 september 2009
Dear….
Delapan tahun sudah aku menyimpan gurat senyummu di hati kecilku, menyimpan suara derap langkahmu, menyimpan bayangmu di setiap sepi malamku. Setiap malam malam sepi berulang kali inginku ulang waktu. Lazuardi,,, seharusnya kala itu ku sampaikan isi hatiku padamu, betapa jatuh cintanya hatiku padamu, betapa merindunya diriku akan bayangmu, betapa sakitnya hatiku tiap kali melihatmu bersama teman-teman wanitamu hingga inginku kau ku miliki agar senyum dan tawamu hanya kau berikan kepadaku. Aku menyesal menjadi manusia yang terlalu malu untuk sekedar mengakui rasa di hatiku. Apalah dayaku? budaya merantaiku, mengajariku untuk gengsi menyatakan rasa cinta kepada engkau kaum adam karena aku adalah sang hawa. Seharusnya sedari dulu aku tahu bahwa tak ada salahnya jika aku mengungkapkan isi di hatiku. Apa susahnya mengucapkan “lazuardi aku sangat mencintaimu dan aku berharap kau pun juga sama.” Tak peduli apakah kau mencintaiku atau tidak, tak peduli apakah kau bisa ku miliki atau tidak, seharusnya aku tak peduli. Seharusnya….
Lazuardi…Mungkin hari ini saatnya ku rapikan semua lembar cerita tentangmu, membungkusnya dalam kotak kenanganku.
Sudah saatnya aku menulis cerita baru bersama Bian lelaki yang setiap hari meneteskan kasih dalam hatiku meski seringkali ku acuhkan. Selamat tinggal lazuardiku,, warnamu akan ku simpan di sudut langit hatiku.

20 mei 2010
Undangan
Mengharap kehadiran dan do’a saudara dalam akad nikah kami ‘ Albian Pramudya dengan Elmira Zelda’ yang akan dilaksanakan esok tanggal 28 mei 2010.
Kami yang berbahagia
Bian & Zelda
26 mei
rinai hujan