Lebih baik
sakit hati daripada sakit gigi ini,,,uwo uwo uwo….!!! ups kebalik ya?
Lebih baik
sakit gigi daripada sakit hati ini..
Lirik lagu
yang paling engga enak nih, pilihan kok ya sama-sama sakit?
Sumpah demi apapun (mi tek tek, mi ayam, mi goreng, mi baso) sakit
gigi ataupun sakit hati sama nggak enaknya guys!
Sama-sama gak bisa makan enak. Bedanya kalo sakit hati membuat kita
kehilangan nafsu makan sedangkan sakit gigi membuat kita gak bisa ngunyah makanan.
Bingung ya? Saya juga! Yah pokoknya gitu deh!
Kali ini saya akan berbagi pengalaman yang nggak jauh-jauh dari
perkara sakit gigi khususnya sakit gigi karena tumbuhnya si gigi paling bontot
alias gigi bungsu atau sering disebut wisdom
teeth.
Awal kisah dimulai sekitar sebulan yang lalu ketika gigi dan gusi saya
terasa cenat-cenut melebihi cenat-cenutnya Smash (korban boyband Indonesia).
Awalnya saya biarkan saja karena beberapa bulan yang lalu juga pernah
mengalami hal yang sama dan bisa sembuh dengan sendirinya tapi setelah tiga
hari berlalu, setelah beberapa kali minum asam mefenamat rasa sakit bukannya
berkurang malah semakin menjadi-jadi. Rasanya campur-campur deh, pusing,
cenat-cenut dan yang paling menyiksa adalah kesulitan ketika menelan makanan
ditambah lagi bonus gusi yang sedikit membengkak. Rasa sakitpun semakin
menjadi-jadi tapi saya juga tidak bisa berbuat apa-apa karena hari itu adalah
hari minggu, itu berarti semua praktek dokter gigi TUTUP! Selamat menikmati
rasa sakit!
Akhirnya hari senin datang juga. Senin malam saya putuskan untuk ngapelin pak dokter gigi langganan saya
dan sampai TKP ternyata sudah berderet antrian super panjang para korban sakit
gigi.
Oh no!! saya dapat nomer berapa ini? Bisa nyampe tengah malam baru
diperiksa. Saya putuskan untuk putar balik ke dokter gigi yang lain tentunya
yang sudah pernah saya dengar reputasinya (dari suami saya). Seperti dokter
yang pertama, saya kalah cepat. Puter balik lagi,,, hingga akhirnya saya
menemukan praktik dokter gigi yang tidak begitu banyak yang antre periksa,
hanya ada empat orang yang ada di ruang tunggu termasuk saya. Satu setengah jam
berlalu baru kemudian nama saya dipanggil setelah sebelumnya melakukan
registrasi dan cek tekanan darah dengan asisten dokter gigi.
Saatnya masuk ruang periksa! Ketika masuk ruang periksa sedikit
terkejut melihat pak dokter yang masih sangat muda, mungkin lebih muda dari
saya. Jadi bimbang nih, salah pilih tempat periksa nggak ya? Takutnya saya jadi
korban malapraktik lagi.
Kemudian pak dokter membaca
catatan keluhan saya dan sedikit berbasa-basi.
“ yang tumbuh gigi atas atau bawah mbak?”
“bawah dok”
“sakit nggak mbak?”
“ya sakitlah dok, kalau nggak sakit ya saya nggak kesini dok.”
“ya sudah langsung kita lihat saja giginya.”
Saya kemudian dipersilahkan
menduduki kursi periksa berwarna ping dengan hiasan boneka keropi, boneka
monkey dan lcd tivi tepat di bagian sudut atas kursi. Buka mulut
diotak-atik sebentar dan selesai.
“giginya nggak kelihatan mbak, harus difoto rongent dulu ini, baru
bisa kita lakukan tindakan. Giginya nggak kelihatan, kasus seperti ini biasanya
harus dicabut giginya biar nggak sakit lagi. Jadi nanti kita lihat dulu hasil
rongentnya seberapa dalam giginya menancap di gusi atau di tulang rahang.
Jadi nanti kita bedah gusinya, kita buka dan kita ambil giginya. Kalau
memang giginya masih nancap sedikit di tulang ya kita bor sedikit tulangnya.
Nah kalau nancepnya dalem ya kita potong sedikit tulang yang ditempeli gigi
itu.”
“Apa???? (lebay) duh ngeri sekali dok, ini berarti dioperasi dok”
langsung deh dag dig dug derr.
“santai saja mbak, ini hanya pembedahan kecil kok. Dan udah banyak
yang mengalami kayak mbak ini.”
Haduwhh gimana bisa santai? Ngebayangin gusi mau disuntik jarum aja udah
lemes, lhah ini malah mau dibor pula tulang rahangnya.
Setelah melakukan konsultasi tindakan dan estimasi dana bedah nantinya
akhirnya saya pulang membawa sepucuk surat pengantar rongent panoramic di rumah
sakit tempat pak dokter bertugas. Sesampainya di rumah saya langsung browsing
mengenai pembedahan gigi bungsu, mencoba menenangkan hati berharap posisi gigi
saya nggak parah-parah amat.
Keesokan harinya saya berangkat ke rumah sakit untuk melakukan rontgen
panoramic. Ini hasilnya terettt!!!!
Nah, nantinya dua gigi itu yang akan dicabut oleh pak dokter.
Hari eksekusi pun akhirnya akan dilakukan, saya putuskan untuk datang
lebih awal di tempat praktek pak dokter gigi dan saya dapat giliran pertama,
antara senang dan takut. Beneran deh waktu itu rasanya jantung berdegub kencang
keringat dingin secara saya juga paling takut dengan jarum suntik.
Pak dokter dan asisten sudah
siap, hasil rontgen saya berikan kemudian pak dokter memperhatikan sejenak
langsung deh eksekusi. Satu setengah jam di ruang bedah, entah berapa kali
dokter menyuntikkan obat bius di gusi dan area mulut bagian kiri hingga
kemudian pipi dan mulut saya sebelah kiri benar-benar mati rasa. Kemudian? Ya
saya nggak tahu mulut saya diapain, saya Cuma berani lihat langit-langit ruang
bedah untuk meredam rasa takut. Hanya sesekali pak dokter menanyakan apakah
saya kesakitan atau tidak, kemudian seringkali si asisten menyemprotkan semacam
cairan yang terasa adem di mulut, suara-suara bor gigi pun terdengar jelas
bahkan sampai bau tulang terbakar tercium dengan jelas kalau orang jawa bilang
bau ‘sangit’.
Well done! Selesai! Bercak-bercak darah yang masih menempel di sekitar
mulut, saya bersihkan dibantu oleh dokter dan si asisten.
“gimana mbak? Cepet kan? Gigi bungsu dan akar giginya sudah saya ambil,
tadi tulang rahangnya saya bor sedikit karena akar gigi bungsunya sedikit menempel,
jadi mungkin nanti akan agak ngilu. “
Saya Cuma bisa menggeleng dan
menganngguk menjawab pertanyaan dari dokter karena mulut dijejali kasa untuk
menyumbat perdarahan di gusi.
“tadi lubang di gusi mbak cukup lebar jadi saya memberikan dua jahitan
sehingga nanti mbak seminggu lagi datang untuk melakukan Kontrol dan
pengambilan benang, biar rapi lagi gusinya.” Lanjut pak dokter, kemudian
setelah itu saya diberi obat pereda rasa sakit dan antibiotik. Dan saya pun
langsung pulang, ingin segera minum obat takut semakin kesakitan lagi. Saking
semangatnya saya mengabaikan pesan dokter kalau saya harus minum obat lima
belas menit setelah makan. Waktu itu saya nggak pakai makan, langsung deh minum
obat.
Diluar perkiraan saya hampir dua jam setelah pencabutan gigi bius baru
mulai hilang. Bibir yang mulanya terasa hilang separuh kini telah kembali.
Bersamaan itu pula efek obat yang saya minum hanya bekerja beberapa jam saja.
Setelah itu?? Sensasinya luar biasa, gusi membengkak, nyut-nyutan luarrrr
biasa, pusing luar biasa, dan lapar luar biasa karena kecerobohan saya. Kalau
sudah bengkak dan nyut-nyutan begini mana bisa makan? Buat gerak aja sakit
minta ampun.! Wal hasil semalaman saya tidak tidur karena saya sibuk mengompres
pipi yang membengkan dengan es batu.
Keesokan harinya gusi semakin membengkak kira-kira sebesar telur ayam
kampung, setiap kali efek obat mulai hilang, nyut-nyutan kembali terjadi.
Selain itu juga mulut mulai kehilangan fungsinya, mangap susah, ngomong susah,
ngunyah makanan apalagi. Yah mau tidak mau saya Cuma bisa makan makanan lembek
dengan kapasitas mangap selebar dua centi. Padahal saya paling benci
makan-makanan lembek apalagi bubur. Jadi mikir ‘terkadang sesuatu yang kita
benci menjadi penolong kita tatkala kita sengsara”.
Lima hari berlalu dan pipi masih bengkak, meski mulai berkurang. Ibu
saya jadi parno, gara-gara ada tetangga yang penasaran dengan keadaan saya dan
bercerita pada ibu saya bahwa kenalannya ada yang melakukan bedah gigi seperti
saya dan terjadi malapraktik sehingga si korban harus di rawat di rumah sakit.
Paranoidlah ibu saya, saya sebenarnya juga takut, tapi berdasarkan apa yang
sudah saya baca, hal seperti ini umum terjadi pada pasien bedah gigi bungsu.
Finally, hari kontrol ke dokter gigi datang juga, saatnya nyabut
jaitan dan ngecek keadaan gusi saya. Bayangan rasa sakit dan darah di mulut
lagi-lagi membuat saya merasa takut, ngga kebayang deh betapa sakitnya nanti.
Di tempat praktik dokter gigi saya complain pada pak dokter, kenapa
gusi saya masih bengkak padahal sudah tujuh hari berlalu sedangkan kata pak
dokter waktu itu penyembuhan kurang lebih lima sampai tujuh hari. setelah
diperiksa ternyata gusi saya dan jahitannya baik-baik saja dan benang siap
untuk diambil, kata pak dokter bengkak yang belum mengempis seratus persen
karena efek pengeboran di tulang. Beberapa menit kemudian crut crut cairan dari
selang kecil disemprotkan benang digunting dan ditarik, terasa sekali ketika
ditarik tapi tidak begitu sakit. Selesai! Benar-benar selesai. Saya diberi multivitamin agar penyembuhan
bisa lebih cepat. Tiga hari berikutnya mulut dan gigi saya bisa normal kembali,
bahagia sekali rasanya. Tentunya ibu saya yang lebih bahagia karena saya tidak
terkena komplikasi apapun setelah melakukan pencabutan gigi bungsu ini. Alhamdulillah,,
Nih penampakan gigi bontot yang sensasional itu..
Anyway kasihan juga si gigi bungsu ini, baru juga nampak ujung giginya
belum menjalankan fungsinya dengan baik dan benar eh,,,harus dicopot jabatannya. hihihi. ya sudahlah, akhirnya saya harus mengucapkan
"Gigi bungsu?? Bbbbbye!!"