Minggu, 28 Desember 2014

Derita Si Gigi Bontot



Lebih baik sakit hati daripada sakit gigi ini,,,uwo uwo uwo….!!! ups kebalik ya?
Lebih baik sakit gigi daripada sakit hati ini..
Lirik lagu yang paling engga enak nih, pilihan kok ya sama-sama sakit?
Sumpah demi apapun (mi tek tek, mi ayam, mi goreng, mi baso) sakit gigi ataupun sakit hati sama nggak enaknya guys!
Sama-sama gak bisa makan enak. Bedanya kalo sakit hati membuat kita kehilangan nafsu makan sedangkan sakit gigi membuat kita gak bisa ngunyah makanan. Bingung ya? Saya juga! Yah pokoknya gitu deh!
Kali ini saya akan berbagi pengalaman yang nggak jauh-jauh dari perkara sakit gigi khususnya sakit gigi karena tumbuhnya si gigi paling bontot alias gigi bungsu atau sering disebut wisdom  teeth.
Awal kisah dimulai sekitar sebulan yang lalu ketika gigi dan gusi saya terasa cenat-cenut melebihi cenat-cenutnya Smash (korban boyband Indonesia).
Awalnya saya biarkan saja karena beberapa bulan yang lalu juga pernah mengalami hal yang sama dan bisa sembuh dengan sendirinya tapi setelah tiga hari berlalu, setelah beberapa kali minum asam mefenamat rasa sakit bukannya berkurang malah semakin menjadi-jadi. Rasanya campur-campur deh, pusing, cenat-cenut dan yang paling menyiksa adalah kesulitan ketika menelan makanan ditambah lagi bonus gusi yang sedikit membengkak. Rasa sakitpun semakin menjadi-jadi tapi saya juga tidak bisa berbuat apa-apa karena hari itu adalah hari minggu, itu berarti semua praktek dokter gigi TUTUP! Selamat menikmati rasa sakit!

Akhirnya hari senin datang juga. Senin malam saya putuskan untuk ngapelin pak dokter gigi langganan saya dan sampai TKP ternyata sudah berderet antrian super panjang para korban sakit gigi.
Oh no!! saya dapat nomer berapa ini? Bisa nyampe tengah malam baru diperiksa. Saya putuskan untuk putar balik ke dokter gigi yang lain tentunya yang sudah pernah saya dengar reputasinya (dari suami saya). Seperti dokter yang pertama, saya kalah cepat. Puter balik lagi,,, hingga akhirnya saya menemukan praktik dokter gigi yang tidak begitu banyak yang antre periksa, hanya ada empat orang yang ada di ruang tunggu termasuk saya. Satu setengah jam berlalu baru kemudian nama saya dipanggil setelah sebelumnya melakukan registrasi dan cek tekanan darah dengan asisten dokter gigi.
Saatnya masuk ruang periksa! Ketika masuk ruang periksa sedikit terkejut melihat pak dokter yang masih sangat muda, mungkin lebih muda dari saya. Jadi bimbang nih, salah pilih tempat periksa nggak ya? Takutnya saya jadi korban malapraktik lagi.
 Kemudian pak dokter membaca catatan keluhan saya dan sedikit berbasa-basi.
“ yang tumbuh gigi atas atau bawah mbak?”
“bawah dok”
“sakit nggak mbak?”
“ya sakitlah dok, kalau nggak sakit ya saya nggak kesini dok.”
“ya sudah langsung kita lihat saja giginya.”
 Saya kemudian dipersilahkan menduduki kursi periksa berwarna ping dengan hiasan boneka keropi, boneka monkey dan lcd tivi tepat di bagian sudut atas kursi. Buka mulut diotak-atik  sebentar dan selesai.
“giginya nggak kelihatan mbak, harus difoto rongent dulu ini, baru bisa kita lakukan tindakan. Giginya nggak kelihatan, kasus seperti ini biasanya harus dicabut giginya biar nggak sakit lagi. Jadi nanti kita lihat dulu hasil rongentnya seberapa dalam giginya menancap di gusi atau di tulang rahang.
Jadi nanti kita bedah gusinya, kita buka dan kita ambil giginya. Kalau memang giginya masih nancap sedikit di tulang ya kita bor sedikit tulangnya. Nah kalau nancepnya dalem ya kita potong sedikit tulang yang ditempeli gigi itu.”
“Apa???? (lebay) duh ngeri sekali dok, ini berarti dioperasi dok” langsung deh dag dig dug derr.
“santai saja mbak, ini hanya pembedahan kecil kok. Dan udah banyak yang mengalami kayak mbak ini.”
Haduwhh gimana bisa santai? Ngebayangin gusi mau disuntik jarum aja udah lemes, lhah ini malah mau dibor pula tulang rahangnya.
Setelah melakukan konsultasi tindakan dan estimasi dana bedah nantinya akhirnya saya pulang membawa sepucuk surat pengantar rongent panoramic di rumah sakit tempat pak dokter bertugas. Sesampainya di rumah saya langsung browsing mengenai pembedahan gigi bungsu, mencoba menenangkan hati berharap posisi gigi saya nggak parah-parah amat.
Keesokan harinya saya berangkat ke rumah sakit untuk melakukan rontgen panoramic. Ini hasilnya terettt!!!!



Nah, nantinya dua gigi itu yang akan dicabut oleh pak dokter.
Hari eksekusi pun akhirnya akan dilakukan, saya putuskan untuk datang lebih awal di tempat praktek pak dokter gigi dan saya dapat giliran pertama, antara senang dan takut. Beneran deh waktu itu rasanya jantung berdegub kencang keringat dingin secara saya juga paling takut dengan jarum suntik.
 Pak dokter dan asisten sudah siap, hasil rontgen saya berikan kemudian pak dokter memperhatikan sejenak langsung deh eksekusi. Satu setengah jam di ruang bedah, entah berapa kali dokter menyuntikkan obat bius di gusi dan area mulut bagian kiri hingga kemudian pipi dan mulut saya sebelah kiri benar-benar mati rasa. Kemudian? Ya saya nggak tahu mulut saya diapain, saya Cuma berani lihat langit-langit ruang bedah untuk meredam rasa takut. Hanya sesekali pak dokter menanyakan apakah saya kesakitan atau tidak, kemudian seringkali si asisten menyemprotkan semacam cairan yang terasa adem di mulut, suara-suara bor gigi pun terdengar jelas bahkan sampai bau tulang terbakar tercium dengan jelas kalau orang jawa bilang bau ‘sangit’.
Well done! Selesai! Bercak-bercak darah yang masih menempel di sekitar mulut, saya bersihkan dibantu oleh dokter dan si asisten.

“gimana mbak? Cepet kan? Gigi bungsu dan akar giginya sudah saya ambil, tadi tulang rahangnya saya bor sedikit karena akar gigi bungsunya sedikit menempel, jadi mungkin nanti akan agak ngilu. “
 Saya Cuma bisa menggeleng dan menganngguk menjawab pertanyaan dari dokter karena mulut dijejali kasa untuk menyumbat perdarahan di gusi.
“tadi lubang di gusi mbak cukup lebar jadi saya memberikan dua jahitan sehingga nanti mbak seminggu lagi datang untuk melakukan Kontrol dan pengambilan benang, biar rapi lagi gusinya.” Lanjut pak dokter, kemudian setelah itu saya diberi obat pereda rasa sakit dan antibiotik. Dan saya pun langsung pulang, ingin segera minum obat takut semakin kesakitan lagi. Saking semangatnya saya mengabaikan pesan dokter kalau saya harus minum obat lima belas menit setelah makan. Waktu itu saya nggak pakai makan, langsung deh minum obat.
Diluar perkiraan saya hampir dua jam setelah pencabutan gigi bius baru mulai hilang. Bibir yang mulanya terasa hilang separuh kini telah kembali. Bersamaan itu pula efek obat yang saya minum hanya bekerja beberapa jam saja. Setelah itu?? Sensasinya luar biasa, gusi membengkak, nyut-nyutan luarrrr biasa, pusing luar biasa, dan lapar luar biasa karena kecerobohan saya. Kalau sudah bengkak dan nyut-nyutan begini mana bisa makan? Buat gerak aja sakit minta ampun.! Wal hasil semalaman saya tidak tidur karena saya sibuk mengompres pipi yang membengkan dengan es batu.
Keesokan harinya gusi semakin membengkak kira-kira sebesar telur ayam kampung, setiap kali efek obat mulai hilang, nyut-nyutan kembali terjadi. Selain itu juga mulut mulai kehilangan fungsinya, mangap susah, ngomong susah, ngunyah makanan apalagi. Yah mau tidak mau saya Cuma bisa makan makanan lembek dengan kapasitas mangap selebar dua centi. Padahal saya paling benci makan-makanan lembek apalagi bubur. Jadi mikir ‘terkadang sesuatu yang kita benci menjadi penolong kita tatkala kita sengsara”.
Lima hari berlalu dan pipi masih bengkak, meski mulai berkurang. Ibu saya jadi parno, gara-gara ada tetangga yang penasaran dengan keadaan saya dan bercerita pada ibu saya bahwa kenalannya ada yang melakukan bedah gigi seperti saya dan terjadi malapraktik sehingga si korban harus di rawat di rumah sakit. Paranoidlah ibu saya, saya sebenarnya juga takut, tapi berdasarkan apa yang sudah saya baca, hal seperti ini umum terjadi pada pasien bedah gigi bungsu.
Finally, hari kontrol ke dokter gigi datang juga, saatnya nyabut jaitan dan ngecek keadaan gusi saya. Bayangan rasa sakit dan darah di mulut lagi-lagi membuat saya merasa takut, ngga kebayang deh betapa sakitnya nanti.
Di tempat praktik dokter gigi saya complain pada pak dokter, kenapa gusi saya masih bengkak padahal sudah tujuh hari berlalu sedangkan kata pak dokter waktu itu penyembuhan kurang lebih lima sampai tujuh hari. setelah diperiksa ternyata gusi saya dan jahitannya baik-baik saja dan benang siap untuk diambil, kata pak dokter bengkak yang belum mengempis seratus persen karena efek pengeboran di tulang. Beberapa menit kemudian crut crut cairan dari selang kecil disemprotkan benang digunting dan ditarik, terasa sekali ketika ditarik tapi tidak begitu sakit. Selesai! Benar-benar selesai.  Saya diberi multivitamin agar penyembuhan bisa lebih cepat. Tiga hari berikutnya mulut dan gigi saya bisa normal kembali, bahagia sekali rasanya. Tentunya ibu saya yang lebih bahagia karena saya tidak terkena komplikasi apapun setelah melakukan pencabutan gigi bungsu ini. Alhamdulillah,,
Nih penampakan gigi bontot yang sensasional itu..


Anyway kasihan juga si gigi bungsu ini, baru juga nampak ujung giginya belum menjalankan fungsinya dengan baik dan benar eh,,,harus dicopot jabatannya. hihihi. ya sudahlah, akhirnya saya harus mengucapkan
"Gigi bungsu?? Bbbbbye!!"