Jumat, 04 Juli 2014

cerpen



Cukup Aku
“ aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu.
Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kau rindu….”
Waktu menunjukkan pukul 20:00 seorang pemuda berperawakan sedang bertubuh kurus bersenandung di depan kos yang sudah ku huni selama dua tahun ini. Itsar nama pemuda itu, orang yang selalu mengaku teman dekat dari salah satu penghuni kos ini, Maeda. Sudah kesekian kalinya Itsar melakukan hal bodoh yang ia sebut dengan cinta. Jika ku hitung-hitung pakai jari sudah tujuh kali Itsar bersenandung cinta di depan kos dan selalu berakhir dengan makian bapak kos sebelah.
Kadang aku heran dengan lelaki satu itu bisa-bisanya bertingkah seperti itu, apa isi kepalanya? Dimana urat malunya? Tujuh kali ‘nembak’ Maeda, selalu berhasil ditolak mentah-mentah bahkan kali ini sebelum ngomong mau ‘nembak’ pun sudah ditolak  Maeda.
“ sar aku tahu apa modus kamu, aku sudah berulang kali ngomong sama kamu baiknya kita tetap berteman saja. Kalau kamu terus seperti ini sama saja kamu mempermalukan dirimu sendiri. Pliss pulang sekarang juga..”
Aku dengar jelas perbincangan mereka dari balik tembok kamar kos ku. Ucapan Maeda pelan tapi ‘nusuk banget’. Tapi herannya Itsar tidak tersinggung sedikitpun, dia langsung pulang sembari berkata “ Maeda, besok berangkat kerja aku jemput!”
Seperti hari-hari sebelumnya setelah aksi penolakan dari Maeda, Itsar pagi-pagi sekali sudah nge-time di depan kos untuk menjemput Maeda. Dan lagi-lagi seperti hari sebelumnya Maeda akan menolak tawaran Itsar untuk berangkat ke kantor bersama. Lalu apa yang dilakukan Itsar? Kalau sudah begitu Itsar hanya bisa mengikuti Maeda dengan vespa 946 kebanggaannya yang sengaja ia kendarai perlahan. Kemudian menemani Maeda menunggu angkot dan setelah itu kembali membuntuti Maeda dari belakang angkot. Biasanya kalau tidak membuntuti dengan cara itu Itsar akan pakai cara kedua yaitu menitipkan motornya di kos kemudian ikut naik angkot bersama Maeda.
Cinta memang bisa membolak balikkan dunia. Yang tadinya pemalu bisa jadi pemberani, yang tadinya pintar jadi bodoh, yang tadinya tak begitu pintar bisa menjadi sangat cerdas gara-gara cinta. Lebih tepatnya cerdas mencari alasan untuk sekedar melihat sang pujaan meski hanya sesaat. Demikian halnya yang terjadi pada Itsar. Setiap hari ia datang ke kos niatnya menjemput eh selalu berakhir dengan penolakan dan masih datang lagi? Setiap malam minggu pun datang dengan berbagai alasan, mulai dari mengantar flashdisk yang ketinggalan di kantor, mengantarkan i-pad yang ketinggalan padahal dia tahu kalau barang-barang itu sengaja ditinggalkan Maeda dikantor dan yang paling parah adalah alasan nganterin tisu wajah yang ada di meja kerja Maeda. Cinta oh cinta.
Suatu ketika aku pernah bertanya pada Maeda kenapa ia selalu bersikap dingin pada Itsar padahal sudah jelas-jelas Itsar sangat mengharapkan Maeda membalas cintanya. “ nunggu dia nembak Sembilan kali baru aku terima” jawab Maeda sembari tertawa terbahak.
Setauku prosesi ‘nembak’ yang dilakukan Itsar sudah yang ke tujuh kali ini. Itu pun tak termasuk peristiwa yang seperti kemarin.
Terkadang aku merasa kasian dengan Itsar harus jungkir balik demi memperjuangkan cintanya. Suatu ketika aku pernah bertanya padanya kenapa dia tak cari wanita lain saja yang lebih dari Maeda.
“wanita yang lebih cantik banyak, yang lebih pandai juga banyak tapi yang sesuai dengan jiwa dan hati kita itu yang susah ditemukan. Lagipula cuma dia satu-satunya wanita yang bisa membuat otakku menjadi tak waras, tak ada yang lain.” Itu jawabnya.
“ya, sampai urat malumu putus kan?” sahutku. Dan dia hanya tertawa.
“begitukah?” tanyanya sambil menertawakan dirinya sendiri.
“Sar, kamu gak sakit hati berulang kali ditolak mentah-mentah Maeda?”
“nggak lah, lebih sakit membayangkan dia duduk di pelaminan bersama orang lain daripada mengingat penolakannya.? Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”
“kamu itu terlalu ambisius sar. Kamu nggak bisa ya seperti laki-laki lain, mencintai sekedarnya saja jika cinta diterima ya Alhamdulillah. Kalau ditolak ya sudah berarti kita harus merelakannya untuk orang lain. Lagipula bukankah cinta tak harus memiliki? Bukankah melihat orang yang kita cintai bahagia bersama dengan yang lain juga akan membuat kita bahagia. So, kita nggak perlu se’ngoyo itu sar, nantinya kamu juga yang akan tersakiti sar.”
“ yah inilah cintaku Wi’, bagiku cinta selalu ingin memiliki, apalah arti mencintai jika kita tidak memiliki orang yang kita cinta. Kalau kita bisa membuatnya bahagia bersama kita kenapa harus cukup puas melihat mereka bahagia bersama yang lain dari kejauhan? Kalau kita punya bahu tempat ia bersandar kenapa harus merelakan ia menangis di bahu yang lain. Hanya pecundang sejati yang menyerah begitu saja. Aku akan memperjuangkan cintaku sampai titik darah penghabisan. Selama Maeda belum duduk bersanding dengan pria lain aku takkan berhenti menawarkan hatiku padanya.” Jawaban diplomatis dari seorang pejuang cinta yang semakin membuatku pusing untuk menerjemahkan apa itu cinta yang sebenarnya.
Perbincangan sore itu menjadi perbincangan terakhirku bersama Itsar karena setelah itu Itsar dipindahtugaskan di pulau Natuna untuk kepentingan perluasan jaringan perusahaan kami. Siang hari sebelum Itsar terbang ke pulau kecil itu ia sempat datang ke kost menyambangi Maeda untuk terakhir kalinya sebelum ia pergi. Diberikannya sebuah CD kepada Maeda, tak sampai lima menit Itsar langsung pergi dari kos. Maeda tak lantas membuka kaset berbungkus kertas bergambar daun waru dan berhias pita merah jambu itu. Baru malam hari setelah ku paksa ia untuk membukanya, Maeda berkenan memutar kaset tersebut di computer jinjingnya.
“ah paling juga rekaman video narsis Itsar lagi nyanyi-nyanyi Wi’” ucapnya sembari menyelipkan piringan kaset disket itu.
Ya memang benar sosok Itsar yang muncul dalam video tersebut menyanyikan sepotong lagu andalannya ‘Dealova’. Tapi tak sampai disitu ternyata Itsar menyampaikan pesan dalam video tersebut.
“May..sore ini aku akan pergi meninggalkan kota penuh kenangan ini, kamu pun tahu aku harus pergi ke Natuna demi pekerjaan. Jangan mencariku, esok aku takkan menjemputmu seperti biasa. Jangan merindukanku karena mulai besok takkan ada lagi pemuda bergitar yang bersenandung di depan kostmu. Mungkin setelah ini aku akan sulit menghubungimu karena di sana jaringan selular maupun jaringan internet sama langkanya. Meski begitu cintaku tak kan pernah langka untukmu.
Dua tahun nanti akan menjadi waktu yang sangat panjang untukku. Aku harus melewatinya tanpa tawa ceriamu, tanpa kritikan pedasmu, tanpa penolakan manis darimu. Aku akan sangat merindukanmu.
May untuk kesekian kalinya tak bosan ku katakan bahwa aku sangat mencintaimu dan aku ingin memilikimu.
May aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan yang harus kau jawab sebelum aku pergi. May maukah kau menerima cintaku? Atau setidaknya adakah sedikit ruang hatimu yang bisa ku tempati?
Jika cintaku kali ini berbalas datanglah ke bandara sore ini, kau tak perlu bilang apa-apa. cukup kau datang saja aku tlah bisa memastikan apa jawabanmu. Dan akan kupastikan dua tahun mendatang aku akan datang menemuimu dan orangtuamu untuk meminangmu.
Tapi jika jawabanmu seperti hari yang lalu, kau tak perlu datang mengantar kepergianku. Dan ku pastikan aku tak akan mengganggu hari-harimu mendatang dan tak akan memaksamu untuk merasakan besarnya cintaku padamu.
Ku mohon untuk kali ini saja jawablah pertanyaanku sejujurnya. Ku tunggu kau di bandara hingga pukul 16;15.”
Seusai menyaksikan video itu berulang kali ku lihat Maeda memencet tombol-tombol handphonenya sejenak kemudian ia terburu-buru sekali mengambil jaketnya dan berlalu begitu saja. Dua jam berlalu tanpa kabar dari Maeda, membuatku khawatir akan keberadaannya. Hampir jam sepuluh malam belum juga Maeda menginjakkan kakinya di kos, tak biasanya seperti ini. Ku putuskan untuk menelponnnya.
“kamu dimana May?”
“bandara..” jawabnya dari seberang sana, lirih terdengar.
“kamu nggak pulang? Atau mau menginap dimana gitu?”
“aku tak tau harus pulang kemana Wi’, aku lupa arah jalan pulang.”
“jangan kemana-mana, aku jemput sekarang.”
Aku pun langsung bergegas menuju bandara yang hanya butuh waktu tiga puluh menit dari kos kami. Sebenarnya sangat tidak mungkin kalau Maeda lupa arah jalan pulang ke kos, mengingat bandara ini selalu ia lewati setiap kali berangkat ke kantor. Tapi entahlah, mungkin ini yang mereka sebut dengan patah hati, sisi lain dari cinta yang sangat menyeramkan. Patah hati bak virus jahat yang dengan sekejap merusak sistem kebahagiaan yang diproduksi endorphin. Sebegitu ganasnya virus ini sampai bisa membuat manusia jadi limbung, hilang nafsu makan, hilang semangat kerja dan bahkan pikun sesaat.
Sesampainya di bandara terlihat sosok Maeda duduk di lobbi bandara. Saat aku tiba di sana Maeda begitu saja memeluk tubuh ringkihku yang tak lebih tinggi darinya. Isak tangisnya membuat suaranya hilang hingga tak bisa berkata sepatah katapun.
Sepanjang jalan pulang Maeda tak berkata apa-apa, pun aku tak berani bertanya kenapa. Ku lihat dari kaca spionku sesekali ia nampak mengusap air mata yang menetes perlahan di pipinya. Tak pernah ku lihat pemandangan yang semacam ini sebelumnya. Mungkin saat ini ia baru sadar bahwa ia sangat terlambat. Terlambat mengetahui bahwa ia telah jatuh cinta pada seorang lelaki bernama Itsar. Cinta terkadang datang tatkala orang yang kita cinta beranjak pergi dari sisi kehidupan kita.
***
Tiga tahun telah berlalu tak ku dengar lagi kabar tentang keberadaan Itsar sedang Maeda masih berharap Itsar akan datang kembali seperti hari yang lalu. Kabar terakhir yang ku dengar dari teman sekantor Itsar, ia telah pulang dari Natuna setahun yang lalu tapi sayangnya ia telah hijrah juga ke perusahaan telekomunikasi lain. Kalaupun memang Itsar sudah pulang kenapa ia tidak mencari Maeda lagi?  Apa ia benar-benar telah melupakan Maeda? Ataukah dia menemukan pengganti Maeda? Pelbagai pertanyaan terlontar di otakku, mana mungkin seorang lelaki yang kemarin menasbihkan dirinya sebagai pejuang cinta tiba-tiba hari ini lupa ingatan pada apa yang dicintanya?
Sore ini sepulang kerja kutemukan sepucuk surat undangan pernikahan di depan pintu kamar kostku. Dalam sepucuk kertas beraroma wangi itu tertulis jelas nama Itsar dan seorang wanita sebagai sepasang calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan esok lusa. Saat itu juga aku terpikir untuk menyembunyikan undangan itu dari Maeda tapi jika ku sembunyikan sama saja membuat Maeda terus menanti kedatangan Itsar yang telah memutuskan untuk berpindah ke lain hati. Akhirnya ku putuskan untuk menyampaikan undangan ini kepada Maeda dengan  resiko aku akan kembali melihat tangisnya, jawaban atas penantian yang sia-sia.
Keesokan harinya Maeda kekeuh memintaku untuk mengantarnya ke acara akad nikah Itsar. Sebenarnya aku melarang Maeda datang kesana. Aku tak tega melihat Maeda kehilangan cinta yang baru saja ia temukan tiga tahun terakhir ini, membayangkannya saja aku tak tega.
Maeda terus memaksa “mungkin dulu aku tidak sempat membuat ia bahagia Wi’, tapi setidaknya doaku kali ini bisa turut mengantarkannya ke kehidupan baru yang lebih bahagia” dan tak ada pilihan lain selain mengiyakan permintaannya.
Setibanya di tkp (tempat kejadian pernikahan) masih belum banyak tamu yang hadir karena acara sakral ini hanya diperuntukkan keluarga serta teman dekat dari mempelai. Terlihat Itsar tengah duduk bersama seorang mempelai wanita disampingnya menunggu kedatangan pak penghulu duduk membelakangai kami. Saat itu Itsar tidak menyadari kehadiran kami hingga pak penghulu datang dari arah kami yang membuatnya membalikkan badan untuk menyapa lelaki tengah baya itu. Seketika itu juga tak sengaja Itsar melihat Maeda yang duduk disampingku. Untuk pertama kalinya mereka berdua bertatap mata yang tak pernah ku lihat di tahun-tahun yang lalu, hanya dalam hitungan detik bola mata Maeda berkaca-kaca tanpa ia sadari. Itsar pun kembali ke tempat duduknya seolah tak mempedulikan Maeda. Sepertinya hati memang begitu mudah dibolak-balikkan oleh Tuhan. Kemarin Itsar yang menangis karena penolakan Maeda, sekarang berbalik Maeda yang menangisi cinta yang sempat ia acuhkan.
Ijab qabul pun akan segera dimulai. Nampak Pak Penghulu menjabat tangan Itsar, pertanda akad akan segara dilaksanakan. Tapi itsar kembali berdiri, ku lihat Itsar memeluk calon mempelai wanita yang terlihat cantik mengenakan kebaya bernuansa putih suci. Cukup lama mereka berpelukan hingga nampak mereka berdua menitikkan airmata. Prosesi yang sangat mengharukan pikirku. Sejenak kemudian Itsar dan calon istrinya bergandeng tangan menuju arah kami. Itsar dan wanita itu mendatangi Maeda yang duduk disampingku. Tiba-tiba saja itsar berlutut di depan maeda.
“ Maeda maukah kau menikah denganku?” ucap Itsar mengejutkan semua tamu bersamaan dengan itu dibukanya kotak kecil berisi sepasang cincin.
Hah??? Apa-apaan ini? Drama macam apa ini? Pikirku mungkin juga sama isi pikiran seluruh tamu yang ada di ruangan ini.
“Itsar jelaskan padaku apa maksudmu berbuat seperti ini? Ku mohon jangan bertindak bodoh seperti ini! Kalau keberadaanku disini hanya merusak pernikahanmu, aku akan pergi sekarang juga.” Maeda menarik tanganku dan beranjak dari tempat duduknya.
Baru saja kami akan melangkah, calon istri itsar menarik tangan Maeda “Maeda,,,menikahlah dengan Itsar. Dia sering menceritakan semua tentangmu padaku. Dia sangat mencintaimu. Percayalah padaku sebenarnya kami tak saling mencintai. Semua ini hanya pelarian atas luka di hati kami. Aku akan bahagia jika kalian bisa bersama.” Lirih ku dengar suara wanita itu. Sejenak kemudian ditariknya tangan Itsar disandingkan dengan jemari Maeda.
“Maeda, mungkin mulutmu bisa menutupi rasa dihatimu tapi tidak dengan airmatamu. Mata kalian tidak bisa berbohong kalau kalian saling mencintai.” Lanjut wanita itu lagi.
 “Maeda jika semua ini adalah kebodohanku, ku mohon maafkanlah aku. Maafkan aku yang tak pernah bisa membohongi hati kecilku bahwa aku sangat mencintaimu. Aku tak pernah bisa melupakanmu, sedetikpun. Aku bisa tahan bila kau acuhkan aku tapi aku tak bisa jika harus melihatmu menitikkan airmata seperti ini” Ucap Itsar sembari menghapus tetes air mata yang mengalir di pipi Maeda.
“Itsar hentikan semua ini!” disingkirkannya tangan Itsar dari wajahnya. Suasana menjadi hening seketika itu.
“Aku yang seharusnya minta maaf padamu. Maafkan aku yang terlambat mengakui bahwa aku juga mencintaimu. Seharusnya aku yang memohon padamu untuk memaafkan aku dan memohon agar kau mau menaungi hatiku hingga akhir hayatku. Maukah kamu?” Sebuah pengakuan yang menjadi jawaban kegalauan mereka selama ini dan tak perlu ada jawaban lisan dari Itsar, rasanya sebuah peluk hangat dari Itsar lebih dari cukup menjawab kesanggupan yang dipertanyakan Maeda.
Itsar pada akhirnya hanya kamulah satu-satunya lelaki yang bisa membahagiakan Maeda, satu-satunya lelaki yang menjadi tempat bersandar segala letih Maeda. Semoga Tuhan selalu menguatkan cinta kalian berdua. Aku turut bahagia menjadi saksi atas perjalanan cinta kalian. Barakallah..

By: rinai hujan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar