Cukup Aku
“
aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu.
Aku
ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kau rindu….”
Waktu menunjukkan pukul
20:00 seorang pemuda berperawakan sedang bertubuh kurus bersenandung di depan
kos yang sudah ku huni selama dua tahun ini. Itsar nama pemuda itu, orang yang
selalu mengaku teman dekat dari salah satu penghuni kos ini, Maeda. Sudah
kesekian kalinya Itsar melakukan hal bodoh yang ia sebut dengan cinta. Jika ku
hitung-hitung pakai jari sudah tujuh kali Itsar bersenandung cinta di depan kos
dan selalu berakhir dengan makian bapak kos sebelah.
Kadang aku heran dengan
lelaki satu itu bisa-bisanya bertingkah seperti itu, apa isi kepalanya? Dimana
urat malunya? Tujuh kali ‘nembak’ Maeda, selalu berhasil ditolak mentah-mentah
bahkan kali ini sebelum ngomong mau ‘nembak’ pun sudah ditolak Maeda.
“ sar aku tahu apa
modus kamu, aku sudah berulang kali ngomong sama kamu baiknya kita tetap
berteman saja. Kalau kamu terus seperti ini sama saja kamu mempermalukan dirimu
sendiri. Pliss pulang sekarang juga..”
Aku dengar jelas
perbincangan mereka dari balik tembok kamar kos ku. Ucapan Maeda pelan tapi ‘nusuk
banget’. Tapi herannya Itsar tidak tersinggung sedikitpun, dia langsung pulang
sembari berkata “ Maeda, besok berangkat kerja aku jemput!”
Seperti hari-hari
sebelumnya setelah aksi penolakan dari Maeda, Itsar pagi-pagi sekali sudah nge-time di depan kos untuk menjemput Maeda.
Dan lagi-lagi seperti hari sebelumnya Maeda akan menolak tawaran Itsar untuk
berangkat ke kantor bersama. Lalu apa yang dilakukan Itsar? Kalau sudah begitu Itsar
hanya bisa mengikuti Maeda dengan vespa 946 kebanggaannya yang sengaja ia
kendarai perlahan. Kemudian menemani Maeda menunggu angkot dan setelah itu
kembali membuntuti Maeda dari belakang angkot. Biasanya kalau tidak membuntuti
dengan cara itu Itsar akan pakai cara kedua yaitu menitipkan motornya di kos kemudian
ikut naik angkot bersama Maeda.
Cinta memang bisa
membolak balikkan dunia. Yang tadinya pemalu bisa jadi pemberani, yang tadinya
pintar jadi bodoh, yang tadinya tak begitu pintar bisa menjadi sangat cerdas
gara-gara cinta. Lebih tepatnya cerdas mencari alasan untuk sekedar melihat
sang pujaan meski hanya sesaat. Demikian halnya yang terjadi pada Itsar. Setiap
hari ia datang ke kos niatnya menjemput eh selalu berakhir dengan penolakan dan
masih datang lagi? Setiap malam minggu pun datang dengan berbagai alasan, mulai
dari mengantar flashdisk yang ketinggalan di kantor, mengantarkan i-pad yang
ketinggalan padahal dia tahu kalau barang-barang itu sengaja ditinggalkan Maeda
dikantor dan yang paling parah adalah alasan nganterin tisu wajah yang ada di
meja kerja Maeda. Cinta oh cinta.
Suatu ketika aku pernah
bertanya pada Maeda kenapa ia selalu bersikap dingin pada Itsar padahal sudah
jelas-jelas Itsar sangat mengharapkan Maeda membalas cintanya. “ nunggu dia
nembak Sembilan kali baru aku terima” jawab Maeda sembari tertawa terbahak.
Setauku prosesi
‘nembak’ yang dilakukan Itsar sudah yang ke tujuh kali ini. Itu pun tak
termasuk peristiwa yang seperti kemarin.
Terkadang aku merasa
kasian dengan Itsar harus jungkir balik demi memperjuangkan cintanya. Suatu
ketika aku pernah bertanya padanya kenapa dia tak cari wanita lain saja yang
lebih dari Maeda.
“wanita yang lebih
cantik banyak, yang lebih pandai juga banyak tapi yang sesuai dengan jiwa dan
hati kita itu yang susah ditemukan. Lagipula cuma dia satu-satunya wanita yang
bisa membuat otakku menjadi tak waras, tak ada yang lain.” Itu jawabnya.
“ya, sampai urat malumu
putus kan?” sahutku. Dan dia hanya tertawa.
“begitukah?” tanyanya
sambil menertawakan dirinya sendiri.
“Sar, kamu gak sakit
hati berulang kali ditolak mentah-mentah Maeda?”
“nggak lah, lebih sakit
membayangkan dia duduk di pelaminan bersama orang lain daripada mengingat
penolakannya.? Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”
“kamu itu terlalu
ambisius sar. Kamu nggak bisa ya seperti laki-laki lain, mencintai sekedarnya
saja jika cinta diterima ya Alhamdulillah. Kalau ditolak ya sudah berarti kita
harus merelakannya untuk orang lain. Lagipula bukankah cinta tak harus
memiliki? Bukankah melihat orang yang kita cintai bahagia bersama dengan yang
lain juga akan membuat kita bahagia. So, kita nggak perlu se’ngoyo itu sar,
nantinya kamu juga yang akan tersakiti sar.”
“ yah inilah cintaku Wi’,
bagiku cinta selalu ingin memiliki, apalah arti mencintai jika kita tidak
memiliki orang yang kita cinta. Kalau kita bisa membuatnya bahagia bersama kita
kenapa harus cukup puas melihat mereka bahagia bersama yang lain dari kejauhan?
Kalau kita punya bahu tempat ia bersandar kenapa harus merelakan ia menangis di
bahu yang lain. Hanya pecundang sejati yang menyerah begitu saja. Aku akan
memperjuangkan cintaku sampai titik darah penghabisan. Selama Maeda belum duduk
bersanding dengan pria lain aku takkan berhenti menawarkan hatiku padanya.”
Jawaban diplomatis dari seorang pejuang cinta yang semakin membuatku pusing
untuk menerjemahkan apa itu cinta yang sebenarnya.
Perbincangan sore itu
menjadi perbincangan terakhirku bersama Itsar karena setelah itu Itsar dipindahtugaskan
di pulau Natuna untuk kepentingan perluasan jaringan perusahaan kami. Siang
hari sebelum Itsar terbang ke pulau kecil itu ia sempat datang ke kost
menyambangi Maeda untuk terakhir kalinya sebelum ia pergi. Diberikannya sebuah
CD kepada Maeda, tak sampai lima menit Itsar langsung pergi dari kos. Maeda tak
lantas membuka kaset berbungkus kertas bergambar daun waru dan berhias pita
merah jambu itu. Baru malam hari setelah ku paksa ia untuk membukanya, Maeda berkenan
memutar kaset tersebut di computer jinjingnya.
“ah paling juga rekaman
video narsis Itsar lagi nyanyi-nyanyi Wi’” ucapnya sembari menyelipkan piringan
kaset disket itu.
Ya memang benar sosok Itsar
yang muncul dalam video tersebut menyanyikan sepotong lagu andalannya
‘Dealova’. Tapi tak sampai disitu ternyata Itsar menyampaikan pesan dalam video
tersebut.
“May..sore ini aku akan
pergi meninggalkan kota penuh kenangan ini, kamu pun tahu aku harus pergi ke Natuna
demi pekerjaan. Jangan mencariku, esok aku takkan menjemputmu seperti biasa.
Jangan merindukanku karena mulai besok takkan ada lagi pemuda bergitar yang
bersenandung di depan kostmu. Mungkin setelah ini aku akan sulit menghubungimu
karena di sana jaringan selular maupun jaringan internet sama langkanya. Meski
begitu cintaku tak kan pernah langka untukmu.
Dua tahun nanti akan
menjadi waktu yang sangat panjang untukku. Aku harus melewatinya tanpa tawa
ceriamu, tanpa kritikan pedasmu, tanpa penolakan manis darimu. Aku akan sangat
merindukanmu.
May untuk kesekian
kalinya tak bosan ku katakan bahwa aku sangat mencintaimu dan aku ingin
memilikimu.
May aku ingin
mengajukan sebuah pertanyaan yang harus kau jawab sebelum aku pergi. May maukah
kau menerima cintaku? Atau setidaknya adakah sedikit ruang hatimu yang bisa ku
tempati?
Jika cintaku kali ini
berbalas datanglah ke bandara sore ini, kau tak perlu bilang apa-apa. cukup kau
datang saja aku tlah bisa memastikan apa jawabanmu. Dan akan kupastikan dua
tahun mendatang aku akan datang menemuimu dan orangtuamu untuk meminangmu.
Tapi jika jawabanmu
seperti hari yang lalu, kau tak perlu datang mengantar kepergianku. Dan ku
pastikan aku tak akan mengganggu hari-harimu mendatang dan tak akan memaksamu
untuk merasakan besarnya cintaku padamu.
Ku mohon untuk kali ini
saja jawablah pertanyaanku sejujurnya. Ku tunggu kau di bandara hingga pukul
16;15.”
Seusai menyaksikan
video itu berulang kali ku lihat Maeda memencet tombol-tombol handphonenya
sejenak kemudian ia terburu-buru sekali mengambil jaketnya dan berlalu begitu
saja. Dua jam berlalu tanpa kabar dari Maeda, membuatku khawatir akan
keberadaannya. Hampir jam sepuluh malam belum juga Maeda menginjakkan kakinya
di kos, tak biasanya seperti ini. Ku putuskan untuk menelponnnya.
“kamu dimana May?”
“bandara..” jawabnya
dari seberang sana, lirih terdengar.
“kamu nggak pulang?
Atau mau menginap dimana gitu?”
“aku tak tau harus
pulang kemana Wi’, aku lupa arah jalan pulang.”
“jangan kemana-mana,
aku jemput sekarang.”
Aku pun langsung
bergegas menuju bandara yang hanya butuh waktu tiga puluh menit dari kos kami.
Sebenarnya sangat tidak mungkin kalau Maeda lupa arah jalan pulang ke kos,
mengingat bandara ini selalu ia lewati setiap kali berangkat ke kantor. Tapi
entahlah, mungkin ini yang mereka sebut dengan patah hati, sisi lain dari cinta
yang sangat menyeramkan. Patah hati bak virus jahat yang dengan sekejap merusak
sistem kebahagiaan yang diproduksi endorphin. Sebegitu ganasnya virus ini
sampai bisa membuat manusia jadi limbung, hilang nafsu makan, hilang semangat
kerja dan bahkan pikun sesaat.
Sesampainya di bandara
terlihat sosok Maeda duduk di lobbi bandara. Saat aku tiba di sana Maeda begitu
saja memeluk tubuh ringkihku yang tak lebih tinggi darinya. Isak tangisnya
membuat suaranya hilang hingga tak bisa berkata sepatah katapun.
Sepanjang jalan pulang Maeda
tak berkata apa-apa, pun aku tak berani bertanya kenapa. Ku lihat dari kaca
spionku sesekali ia nampak mengusap air mata yang menetes perlahan di pipinya. Tak
pernah ku lihat pemandangan yang semacam ini sebelumnya. Mungkin saat ini ia
baru sadar bahwa ia sangat terlambat. Terlambat mengetahui bahwa ia telah jatuh
cinta pada seorang lelaki bernama Itsar. Cinta terkadang datang tatkala orang
yang kita cinta beranjak pergi dari sisi kehidupan kita.
***
Tiga tahun telah berlalu
tak ku dengar lagi kabar tentang keberadaan Itsar sedang Maeda masih berharap Itsar
akan datang kembali seperti hari yang lalu. Kabar terakhir yang ku dengar dari
teman sekantor Itsar, ia telah pulang dari Natuna setahun yang lalu tapi
sayangnya ia telah hijrah juga ke perusahaan telekomunikasi lain. Kalaupun
memang Itsar sudah pulang kenapa ia tidak mencari Maeda lagi? Apa ia benar-benar telah melupakan Maeda?
Ataukah dia menemukan pengganti Maeda? Pelbagai pertanyaan terlontar di otakku,
mana mungkin seorang lelaki yang kemarin menasbihkan dirinya sebagai pejuang
cinta tiba-tiba hari ini lupa ingatan pada apa yang dicintanya?
Sore ini sepulang kerja
kutemukan sepucuk surat undangan pernikahan di depan pintu kamar kostku. Dalam
sepucuk kertas beraroma wangi itu tertulis jelas nama Itsar dan seorang wanita
sebagai sepasang calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan esok lusa.
Saat itu juga aku terpikir untuk menyembunyikan undangan itu dari Maeda tapi
jika ku sembunyikan sama saja membuat Maeda terus menanti kedatangan Itsar yang
telah memutuskan untuk berpindah ke lain hati. Akhirnya ku putuskan untuk
menyampaikan undangan ini kepada Maeda dengan resiko aku akan kembali melihat tangisnya,
jawaban atas penantian yang sia-sia.
Keesokan harinya Maeda kekeuh
memintaku untuk mengantarnya ke acara akad nikah Itsar. Sebenarnya aku melarang
Maeda datang kesana. Aku tak tega melihat Maeda kehilangan cinta yang baru saja
ia temukan tiga tahun terakhir ini, membayangkannya saja aku tak tega.
Maeda terus memaksa “mungkin
dulu aku tidak sempat membuat ia bahagia Wi’, tapi setidaknya doaku kali ini bisa
turut mengantarkannya ke kehidupan baru yang lebih bahagia” dan tak ada pilihan
lain selain mengiyakan permintaannya.
Setibanya di tkp
(tempat kejadian pernikahan) masih belum banyak tamu yang hadir karena acara
sakral ini hanya diperuntukkan keluarga serta teman dekat dari mempelai.
Terlihat Itsar tengah duduk bersama seorang mempelai wanita disampingnya
menunggu kedatangan pak penghulu duduk membelakangai kami. Saat itu Itsar tidak
menyadari kehadiran kami hingga pak penghulu datang dari arah kami yang
membuatnya membalikkan badan untuk menyapa lelaki tengah baya itu. Seketika itu
juga tak sengaja Itsar melihat Maeda yang duduk disampingku. Untuk pertama
kalinya mereka berdua bertatap mata yang tak pernah ku lihat di tahun-tahun
yang lalu, hanya dalam hitungan detik bola mata Maeda berkaca-kaca tanpa ia
sadari. Itsar pun kembali ke tempat duduknya seolah tak mempedulikan Maeda.
Sepertinya hati memang begitu mudah dibolak-balikkan oleh Tuhan. Kemarin Itsar
yang menangis karena penolakan Maeda, sekarang berbalik Maeda yang menangisi
cinta yang sempat ia acuhkan.
Ijab qabul pun akan
segera dimulai. Nampak Pak Penghulu menjabat tangan Itsar, pertanda akad akan
segara dilaksanakan. Tapi itsar kembali berdiri, ku lihat Itsar memeluk calon
mempelai wanita yang terlihat cantik mengenakan kebaya bernuansa putih suci.
Cukup lama mereka berpelukan hingga nampak mereka berdua menitikkan airmata.
Prosesi yang sangat mengharukan pikirku. Sejenak kemudian Itsar dan calon
istrinya bergandeng tangan menuju arah kami. Itsar dan wanita itu mendatangi
Maeda yang duduk disampingku. Tiba-tiba saja itsar berlutut di depan maeda.
“ Maeda maukah kau
menikah denganku?” ucap Itsar mengejutkan semua tamu bersamaan dengan itu
dibukanya kotak kecil berisi sepasang cincin.
Hah??? Apa-apaan ini? Drama
macam apa ini? Pikirku mungkin juga sama isi pikiran seluruh tamu yang ada di
ruangan ini.
“Itsar jelaskan padaku
apa maksudmu berbuat seperti ini? Ku mohon jangan bertindak bodoh seperti ini! Kalau
keberadaanku disini hanya merusak pernikahanmu, aku akan pergi sekarang juga.” Maeda
menarik tanganku dan beranjak dari tempat duduknya.
Baru saja kami akan
melangkah, calon istri itsar menarik tangan Maeda “Maeda,,,menikahlah dengan Itsar.
Dia sering menceritakan semua tentangmu padaku. Dia sangat mencintaimu.
Percayalah padaku sebenarnya kami tak saling mencintai. Semua ini hanya
pelarian atas luka di hati kami. Aku akan bahagia jika kalian bisa bersama.”
Lirih ku dengar suara wanita itu. Sejenak kemudian ditariknya tangan Itsar disandingkan
dengan jemari Maeda.
“Maeda, mungkin mulutmu
bisa menutupi rasa dihatimu tapi tidak dengan airmatamu. Mata kalian tidak bisa
berbohong kalau kalian saling mencintai.” Lanjut wanita itu lagi.
“Maeda jika semua ini adalah kebodohanku, ku
mohon maafkanlah aku. Maafkan aku yang tak pernah bisa membohongi hati kecilku
bahwa aku sangat mencintaimu. Aku tak pernah bisa melupakanmu, sedetikpun. Aku bisa
tahan bila kau acuhkan aku tapi aku tak bisa jika harus melihatmu menitikkan
airmata seperti ini” Ucap Itsar sembari menghapus tetes air mata yang mengalir
di pipi Maeda.
“Itsar hentikan semua
ini!” disingkirkannya tangan Itsar dari wajahnya. Suasana menjadi hening
seketika itu.
“Aku yang seharusnya
minta maaf padamu. Maafkan aku yang terlambat mengakui bahwa aku juga mencintaimu.
Seharusnya aku yang memohon padamu untuk memaafkan aku dan memohon agar kau mau
menaungi hatiku hingga akhir hayatku. Maukah kamu?” Sebuah pengakuan yang
menjadi jawaban kegalauan mereka selama ini dan tak perlu ada jawaban lisan
dari Itsar, rasanya sebuah peluk hangat dari Itsar lebih dari cukup menjawab
kesanggupan yang dipertanyakan Maeda.
Itsar pada akhirnya hanya
kamulah satu-satunya lelaki yang bisa membahagiakan Maeda, satu-satunya lelaki
yang menjadi tempat bersandar segala letih Maeda. Semoga Tuhan selalu
menguatkan cinta kalian berdua. Aku turut bahagia menjadi saksi atas perjalanan
cinta kalian. Barakallah..
By: rinai hujan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar